ASAL USUL HOAKS
(oleh: Fanny – Jabar Saber Hoaks)
HOAKS? Sering diucapkan dan kini jadi trademark, brow…. Tapi taukah darimana asal asul hoaks? Sampai saat ini saya belum menemukan ada pembahasan yang mendalam mengenai asal usul hoaks. Agar tidak gagal paham mengenai hoaks, kita perlu menggali lebih dalam pengertian dan asal usul hoaks palin tidak secara holistic atawa utuh bin menyeluruh. Penting rasanya kita membahas hoaks ini baik secara terminologi dan etimologi (makhluk apalagi tuh si terminologi dan etimologi?)
TERMINOLOGI tuh peristilahan atau ilmu mengenai batasan atau definisi istilah. Nah, kajian terminologi mencakup pembentukan serta kaitan istilah dangan suatu budaya, brow....
Secara terminologi, Hoaks dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengandung makna berita bohong dan berita tak bersumber. Hoaks merupakan sebagaian rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran. Hoaks ditampilkan sebagai seolah olah serangkaian fakta yang sebenarnya tidak memiliki landasan faktual. Barangkali jatuhnya menjadi “pembenaran”.
Sedangkan ETIMOLOGIS mencoba untuk merekonstruksi asal usul dari suatu kata, dari sumber apa, dan bagaimana bentuk dan arti kata tersebut lahir atau berubah. Dalam KBBI etimologi adalah asal usul kata, penjelasan mengenai asal usul kata.
Sejarah Hoaks
Terdapat 2 versi terkait sejarah hoaks. Pertama, 1661 - Kasus Drumer of Tedworth, yang berkisah John Mompesson seorang tuan tanah yang dihantui oleh suara suara drum setiap malam di rumahnya semenjak ia berhasil memenangkan tuntutan kepada seorang drumer band gipsy William Drury. Memperson menuduh Drury melakukan guna guna terhadap rumahnya karena dendam.
Singkat cerita, seorang penulis bernama Glanvill mendengar kisah tersebut dan mendatangi rumah Memperson. Ia mengaku mendengar suara suara yang sama, yang kemudian ia ceritakan dalam tiga buku cerita yang diakunya sebagai kisah nyata. Kehebohan mengenai keseraman local story tersebut berhasil menaikan penjualan buku Glancill. Namun pada buku ketiga, Glanvill mengakui bahwa suara suara tersebut hanyalah trik dan apa yang di ceritakan adalah bohong belaka.
Namun yang paling beken ialah asal usul Hoaks yang berasal dari “Hocus” pada sekitar tahun 1808. Kata kata “hocus” merupakan penyingkatan dari kata “Hocus Pocus”, semcam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap. Hal ini diangkat oleh Robert Nares seorang filsuf Inggris, dalam buku “A Glosary: Or, Collection of Words, Phares, Names and Allusions to Custom”.
Hocus Pocus digunakan pesulap untuk menghibur orang yang bahkan mau membayar untuk merasakan kenikmatan dan kesenangan ditipu dengan cara yang wah, untuk mengalihkan perhatian orang ke arah yang keliru. Disini hoaks hanya diartikan sebagai kebohongan yang sifatnya tipuan sebagai hal yang lucu.
Varian makna lain hocus-pocus itu tiruan asal asalan kata-kata yang biasa diucapkan imam Katholik dalam Misa: Hoc est Corpus Meum (Inilah tubuh-Ku). Dalam perkembangan nya makna hoaks jauh lebih luas dalam sekedar arti kata bohong dan tipuan.
Hoaks menjadi Propaganda
“Kebohongan yang dikampanyekan secara terus menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja.
- Paul Joseph Goebbels
Pernah mendengar kutipan tersebut? Iya, sebetulnya Paul Joseph Goebbles yang mempopulerkannya, bukan Adolf Hitler. Paul Joseph Goebbles merupakan Menteri Penerangan dan Propaganda Nazi, juga dikenal sebagai bapak propaganda Modern.
Ia memiliki konsep yang dikenal dengan Argentum ad Nausem atau lebih dikenal dengan tehnik BIG LIE - Kebohongan Besar. Caranya cukup sederhana, hanya menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan. Ia pulalah yang mempelopori penggunaan film dan siaran radio sebagai media propaganda masal.
Hoaks kemudian mulai dikenal sebagai propaganda yang sering digunakan dalm konstelasi politik dan perang. Lihat saja intervensi Amerika dalam perang teluk, yang dilandasi oleh Kesaksian Palsu (baca: Hoaks) Nayirah yang menyebutkan bahwa ia melihat tentara Irak mengeluarkan bayi-bayi di inkubator di sebuah rumah sakit di Kuwait, mengambil inkubatornya, dan membiarkan bayi-bayi tersebut meninggal.
Kesaksian tersebut disampaikan dihadapan Komisi HAM Kongres Amerika Serikat pada tanggal 10 Oktober 1990, diliput dan disebarluaskan media. YAng kemudian menjadi landasan perang teluk tahun 1992. Belakangan diketahui bahwa kesaksian ini palsu.
Hoaks dalam Jurnal Akademik
Pada tahun 1996, Alan Sokal, seorang Profesor Fisika di New York University, menulis “Transgressing the Boundaries Toward a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity” yang di muat di jurnal Sosial Text sepanjang 39 halaman.
Judulnya bukan main -main karena mengacu pada dua kata kunci dalam dua tradisi keilmuan, “hermeneutika” dalam kajian budaya dan “gravitasi quantum” dalam sains, berpadu dalam satu rangkaian kalimat yang diawali oleh kata “transgressing”.
Ia menyatakam bahwa sains posmodern menolak otoritarianisme dan elitisme pada sains tradisional, sekaligus menunjukan bahwa teori matematika tradisional adalah (produk) kapitalis, patriakis dan militeristik. Sokal banyak memenyitir pemikir posmodern cum pos-strukturalis seperti Jacques Derrida, Jean-Francois Lyotard, Luce Irigaray, Gilles Deleuze, Felix Guattari, dan Jacques Lacan dan memadukan nya dengan temuan temuan terbaru para fisikawan seperti Heisenberg, Einstein dan Neils Bohr.
“Isi dan metodologi sains postmodern dengan demikan memberi dukungan intelektual yang kuat untuk proyek politik progresif, yang dipahami secara luas: pelanggaran batas, penghancuran hambatan, demokratisasi radikal terhadap semua aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya,” ujar sokal.
Tanpa disangka, beberapa minggu kemudian, dalam esai yang berjudul “Physicist Experiments with Cultural Studies” yang tebit dalam jurnal Lingua Franca, Alan Socal membeberkan bahwa papernya yang tayang di Social Text hanyalah parodi yang mengejek para pemikir postmodern. Dengan kata lain adalah HOAKS.
Ia ingin menunjukan bahwa jajaran editor Social Text menerbitkan esainya karena sesuai dengan selera intelektual/ideologi mereka yang searah dengan tren postmoderenisme: subjektif dan melihat banyak hal semata sebagai konstruksi sosial. Padahal, tulisannnya kacau dan absurd.
Ekperimen Sokal tidak bisa disejajarkan begitu saja dengan berita-berita palsu yang secara sadar dan sengaja diproduksi untuk menyesatkan dan menggiring opini publik. Sokal melakukannya untuk mengukur batas batas epistemologi, lebih tepatnya menguji standart ilmiah dalam dunia akademik.
Hoaks di Indonesia
Dalam sejarahnya, hoaks yang awalnya merupakan sebuah bentuk kebohongan yang sifatnya menghibur yang berawal dari sebuah pembukaan sulap, sebuah mantra penghibur, kemudian berkembang menjadi sebuah alat propaganda yang menyebar luas cepat dan masif dalam kemasan media massa. Alih alih sebagai bentuk parodi kebohongan, hoaks tidak mengenal strata pendidikan, bahkan kaum akademisi pun tak luput dari hoaks (Hoaks Sokal).
Di Indonesia hoaks menjadi tren pada masa kampanye pemilihan presiden 2017 lalu, yang paling terkenal dan melibatkan banyak politikus (walau yang terciduk hanyalah satu orang) ialah hoaks ratna sarumpaet, yang mengaku di pukuli dan diculik di Bandung. Hal ini memancing beberapa Politikus ternama bersimpatik dan memanfaatkan keadaan ini sebagai senjata perang politik nya. Belakangan diketahui bahwa pemukulan dan penculikan tersebut hanyalah cerita yang dibuat buat (hoaks) saja.
Hal ini memicu dibentuknya Jabar Sabe Hoaks oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil pada Desember 2018 lalu, sebagai media klarifikasi jawa barat dalam mengantisipasi dan menangkal hoaks yang menyebar di Jawa Barat.